Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, June 18, 2008

Mengungkap Nasionalisme "Kolonel Pembangkang"


Judul : Perlawanan Seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein
Penulis: Mestika Zed dan Hasril Chaniago
Penerbit : Sinar Harapan, Jakarta 2001, Tebal : (xvi + 489) halaman
___________________________________________________
SALAH satu sisi menarik dari kajian sejarah adalah aspek dinamis dari interpretasi sejarawan. Seorang sejarawan memiliki kebebasan untuk memperlakukan fakta berdasarkan sudut pandangnya sendiri.
Di atas itu semua, kajian sejarah kontemporer umumnya ditulis dengan suatu misi yang sarat beban.
Pertama, keinginan untuk menempatkan sejarah sebagai ilmu yang bebas dari kepentingan dan konflik. Itu mengacu pada objektivitas.
Kedua, meluruskan sejarah dengan sumber dan interpretasi si pelaku. Ini sifatnya inward looking.
Demikian halnya dengan buku ini. Sebagai sebuah biografi, ia ingin menghadirkan sejarah menurut pelakunya sendiri.
Dalam penulisan sejarah Orde Baru, peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diberi stigma "pemberontakan"; sesuatu yang setidaknya hingga akhir tahun 1970-an menimbulkan perasaan traumatik dalam diri masyarakat Sumatera Barat. Perasaan rendah diri sebagai komunitas yang telah dikalahkan dan dengan sendirinya selalu dipojokkan. Mentor dari peristiwa itu, Ahmad Husein, dalam pelajaran di sekolah-sekolah dicap sebagai "pemberontak".
***
BUKU Perlawanan Seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein yang sarat dengan misi ini terdiri dari dua belas bagian. Pada prolog dipaparkan bahwa biografi ini disusun untuk menjawab pertanyaan siapakah Ahmad Husein; pahlawan ataukah pemberontak? Dan segera ditutup dengan suatu harapan buku ini dapat menjadi salah satu jendela untuk memahami sejarah Sumatera Barat pada umumnya.
Bagian pertama, kedua, dan, ketiga dari buku ini membicarakan sang tokoh dari riwayat masa kecil, remaja, hingga karier awalnya dalam militer. Ahmad Husein dilahirkan di Padang pada 1 April 1925, dalam lingkungan keluarga usahawan Muhammadiyah. Pada tahun 1943 di usia yang masih sangat muda (18 tahun), Husein bergabung dengan Gyugun.
Berkat kecerdasan dan keterampilannya, ia menjadi perwira termuda Gyugun di Sumatera Barat. Pada saat revolusi, Husien aktif merekrut anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menjadikan rumah orangtuanya sebagai markas sementara BKR.
Selanjutnya, perannya dalam perjuangan makin menonjol ketika ia menjadi Komandan Kompi Harimau Kuranji dan kemudian Batalyon I Padang Area. Pasukan Harimau Kuranji begitu populer karena keberaniannya di medan pertempuran menghadapi Inggris dan Belanda.
Bagian keempat dan kelima mengungkap meroketnya Divisi IX/banteng sebagai kesatuan terbaik di Sumatera pada masa revolusi fisik. Pada pertengahan tahun 1947 terjadi reorganisasi tentara, Husein dipromosikan menjadi Komandan Resimen III/Harimau Kuranji yang membawahi tiga ribu pasukan.
Kekecewaan Ahmad Husein dan kawan-kawan bermula ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Konsekuensinya, terjadi efisiensi berupaya penyusutan jumlah anggota besar-besaran.
Husein sendiri merelakan dirinya turun pangkat dari Letkol ke Mayor. Pada masa agresi militer Belanda II, Husein bersama anak buahnya berhasil mengamankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari serangan Belanda. Kontak bersenjata menghadapi Belanda beberapa kali terjadi. Dalam pertempuran di Lubuak Selasih 11 Januari 1949, pasukan Husein memperoleh kemenangan.
Di sela-sela perjuangan itulah pada tahun 1951 Husein memasuki fase kedua kehidupannya dengan menyunting Desmaniar, putri Jaksa Idroes.
Bagian keenam dan seterusnya lebih banyak mengungkap Dewan Banteng dan keterlibatan Ahmad Husein dalam PRRI. Prakondisi Peristiwa PRRI yang terjadi sesungguhnya dapat dilacak ketika terjadinya polarisasi Jawa-luar Jawa, dalam realitas politik nasional waktu itu.
Hasil Pemilu 1955 menunjukkan bahwa hanya empat partai saja yang memiliki suara yang cukup signifikan, yakni PNI 22 persen, Masyumi 21 persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen.
Tiga partai rulling minorities, PNI, NU, dan PKI adalah partai yang memiliki basis massa yang kuat di Jawa. Sementara, Masyumi untuk sebagian besar memiliki banyak pendukung di luar Jawa.
Konfigurasi dan polarisasi politik Indonesia hasil Pemilu 1955 ini, kelak dapat memberikan penjelasan ketika terjadi pergolakan daerah, di mana terjadi konflik politik-dan juga militer-antara pemerintah pusat di Jawa dengan daerah-daerah di Sumatera dan Sulawesi (PRRI/ Permesta) (hlm 147).
Dewan Banteng adalah jembatan yang mengantarkan Husein masuk ke jajaran elite daerah yang memiliki akses ke tingkat nasional. Reuni eks Divisi Banteng beralih pada persoalan yang lebih luas. Peserta menuntut dilaksanakannya segera perbaikan-perbaikan yang progresif dan radikal di segala lapangan, terutama di dalam pimpinan negara dengan jaminan-jaminannya demi keutuhan Negara Republik Indonesia.
Ahmad Husein mengambil alih kekuasaan pemerintahan di Sumatera Tengah pada tanggal 20 Desember 1956. Tindakan Husein segera memancing daerah lain; Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi, dan Kalimantan, untuk melakukan langkah serupa.
Tanggal 10 Februari 1958, Ahmad Husein atas nama Dewan Perjuangan mengeluarkan "Piagam Perjuangan" yang ditujukan kepada pemerintah pusat. Di dalamnya, ada limit waktu yang harus diperhatikan oleh pusat.
Setelah limit waktu yang diberikan terlewati, lima hari kemudian melalui siaran RRI Husein mengumumkan PRRI. Eksperimentasi Dewan Banteng dalam menjalankan roda pemerintahan secara darurat dalam beberapa hal meningkatkan perekonomian masyarakat.
Perlawanan Husein terhadap pemerintah pusat bukanlah untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membentuk negara sendiri. Sebagaimana dilaporkan Kedutaan Besar Amerika di Jakarta kepada Departemen Luar Negeri di Washington, Husein mengatakan kepada Hatta, "Kami di Sumatera Tengah, akan berjuang terus untuk mencari Indonesia yang adil dan makmur. Kami akan membuktikan kepada mereka yang tidak percaya bahwa gerakan ini justru mendukung Negara Kesatuan Indonesia (hlm 209).
***
SESUNGGUHNYA yang terpenting dari biografi Ahmad Husein ini adalah bahwa nasionalisme bukanlah merupakan sikap membabi buta tanpa reserve. Nasionalisme dapat ditunjukkan melalui sikap kritis terhadap ketidakbenaran dan kesewenang-wenangan. Dalam bahasa yang lebih keras, pembangkangan Ahmad Husein terhadap pemerintah pusat merupakan kewajiban patriot manakala amanah telah diselewengkan pimpinan negara.
Pertanyaan yang sampai sekarang masih menggelayuti pikiran orang adalah: kalau begitu siapakah Ahmad Husein? Pahlawankah atau pemberontak?
Pertanyaan itu sungguh menarik karena berbicara tentang aspek normatif. Apalagi di tengah kuatnya daerah-sebagai konsekuensi otonomi daerah-menampilkan tokoh-tokoh lokalnya.
Dalam buku ini jawaban atas pertanyaan itu tidak dibaca secara eksplisit. Penulis menawarkan bacaan yang berdasarkan fakta. Soal interpretasi diserahkan pada diri masing-masing. Mendudukkan peran seseorang dalam bingkai sosial politik tertentu memang terkadang menyesatkan.
Buku ini menarik untuk dibaca karena ditulis dengan bahasa populer tanpa meninggalkan bobot keilmiahannya. Apalagi penggalian sumber informasi begitu ekstensif, dan penulisannya pun tidak tergesa-gesa: perlu waktu dua tahun, 1999-2001.
Sebagai sebuah biografi, buku ini menceritakan konflik-konflik psikologis yang dialami Husein. Di sini dapat kita lihat bahwa Husein bersetia dengan kawan-kawannya. Suatu ketika, setelah gerakan PRRI dilumpuhkan oleh pusat, dia dipanggil Presiden Soekarno yang akan membebaskan dan memberikannya jabatan. Husein menjawab, kalau dia dibebaskan seluruh teman-temannya harus juga dibebaskan (hlm 385).
Nilai yang dapat diambil dari sosok Husein adalah konsistensi dalam menegakkan nilai-nilai. Hal ini mengingatkan kita pada sosok Mohammad Natsir. Pada suatu ketika Buya Natsir ditanya orang tentang kegagalannya dalam politik riil, ia mengatakan, "Kita boleh kalah dalam pertempuran-pertempuran, tetapi tidak boleh kalah dalam peperangan".
Term "pertempuran" yang digunakan Mohammad Natsir itu bukanlah kontak senjata, melainkan suatu tahap perjuangan. Dalam satu dua tahap boleh kalah, tetapi pada akhirnya perjuangan mesti berhasil juga. Berjuang itu butuh seni dan kesabaran. Apalagi di alam yang kian demokratis ini.
(Iim Imadudin, staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang)

2 comments:

Unknown said...

Dma bisa wak bali bukunyo da?

Unknown said...

Buku komplit dima bisa wak bali, Da?